CIRI-CIRI GERAKAN SOSIAL
Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkannya atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Biasanya gerakan sosial seperti itu mengambil bentuk dalam aksi protes atau unjuk rasa di tempat kejadian atau di depan gedung dewan perwakilan rakyat atau gedung pemerintah. Setelah Mei 1998, gerakan sosial semakin marak dan ketidakadilan atau ketidakpuasan yang muncul jauh sebelum 1998 dibongkar untuk dicari penyelesaiannya. Situasi itu menunjukkan bahwa dimana sistem politik semakin terbuka dan demokratis maka peluang lahirnya gerakan sosial sangat terbuka.
Berbagai gerakan sosial dalam bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol yang kemudian menjamur memberikan indikasi bahwa memang dalam suasana demokratis maka masyarakat memiliki banyak prakarsa untuk mengadakan perbaikan sistem atau struktur yang cacat. Dari kasus itu dapat kita ambil semacam kesimpulan sementara bahwa gerakan sosial merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah.
Di sini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat.Karena gerakan sosial itu lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun di tubuh pemerintah menjadi sorotannya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi maka gerakan sosial yang sifatnya menuntut perubahan insitusi, pejabat atau kebijakan akan berakhir dengan terpenuhinya permintaan gerakan sosial. Sebaliknya jika gerakan sosial itu bernafaskan ideologi, maka tak terbatas pada perubahan institusional tapi lebih jauh dari itu yakni perubahan yang mendasar berupa perbaikan dalam pemikiran dan kebijakan dasar pemerintah. Adapun ciri-ciri gerakan menurut beberapa ahli yaitu:
Bruce J Cohen (1992) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:
1. Gerakan kelompok
2. Terorganisir (struktur, personalia, jaringan, mekanisme kerja, dukungan modal/alat, dll)
3. Memiliki rencana, sasaran, dan metode
4. Memiliki ideologi
5. Merubah atau mempertahankan
6. Memiliki usia jauh lebih panjang
2. Kamanto Sunarto (2004) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:
1. Perilaku kolektif
2. Kepentingan bersama
3. Mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya.
4. Tujuan jangka panjang
5. Penggunaan cara di luar institusi (mogok makan, pawai, demo, konfrontasi, dll)
3. James W. Vander Zanden (1990) dan Rafael Raga Maran (2001) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:
1. Upaya terorganisir yang
2. Dilakukan sekelompok orang
3. Menimbulkan perubahan/menentangnya
4. Aktif atau tidak pasif menata perubahan
4. Kartasapoetra dan Kreimers (1987) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:
1. Kegiatan kolektif
2. Berusaha mengadakan orde kehidupan baru.
3. Memiliki kendali dan bentuk
4. Memiliki kebiasaan atau nilai sosial
5. Memiliki kepemimpinan dan tenaga kerja
5. Robert Mirsel (2004) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:
1. Memiliki seperangkat keyakinan dan tindakan tak terlembaga (noninstitutionalised)
2. Dilakukan sekelompok orang
3. Memajukan atau menghalangi perubahan di dalam suatu masyarakat.
4. Mereka cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku umum secara luas dan sah di dalam suatu masyarakat.
6. Laode Ida (2003) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:
1. Ada upaya kolektif melakukan perubahan
2. Adanya organisasi sebagai wadah gerakan
3. Gerakan tersebut melembaga serta memiliki gagasan alternatif perubahan
4. Aktivitas dan gerakannya terus-menerus
5. Memiliki identitas kolektif sebagai ciri
6. Serta kehadirannya menjadi tantangan bagi pihak lain (pemerintah, institusi manca negara, dll).
7. Gerakan dilakukan sekelompok orang
8. Memiliki visi, misi, tujuan, ide, nilai sosial politik
9. Mempertahankan, merubah, merebut, mengontrol, dan menjalankan kehidupan sosial politik
10. Dilakukan secara sistematis dan terorganisir
11. Memiliki identitas kolektif dan alternatif perubahan
Dapat berbentuk kelompok pelajar/mhs, LSM, ormas, pers, pressure group, partai politik, dan bertahan cukup lama.
DAFTAR PUSTAKA:
Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi), FEUI, Jakarta, 2004
Kartasapoetra, G dan Kreimers, L.J.B, Sosiologi Umum, Bina Aksara, Jakarta. 1987.
James W. Vander Zanden, The Social Experience : An Introduction To Sociology, New York : McGraw-Hill Publishing, 1990
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis, Resist Book, Jakarta, 2004
Diposkan oleh Mas Riyan di 23.15 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tahap Gersos
TAHAPAN-TAHAPAN GERAKAN SOSIAL
Smelser [1962] mengungkapkan, ada empat komponen dasar dari tindakan sosial (social action), yaitu:
(1) Tujuan-tujuan yang bersifat umum (generalized ends) atau nilai-nilai (values), yang memberikan arahan yang paling luas terhadap perilaku sosial dengan tujuan tertentu (purposive social behavior);
(2) Ketentuan-ketentuan regulatif yang mengatur upaya-upaya pencapaian tujuan tersebut, yakni aturan-aturan yang terdapat dalam norma (norms);
(3) Mobilisasi energi individual untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan dalam kerangka normatif. Jika yang kita anggap sebagai aktor adalah individu, kita menanyakan bagaimana ia termotivasi; dan jika kita melihat dalam tingkatan sistem sosial, kita menanyakan bagaimana individu-individu yang termotivasi ini diorganisasikan dalam peran-peran dan organisasi-organisasi;
(4) Fasilitas situasional yang tersedia, di mana para aktor menggunakannya sebagai sarana. Fasilitas ini termasuk pengetahuan tentang lingkungan, perkiraan konsekuensi dari tindakan, perangkat dan keterampilan.
Komponen paling umum dari tindakan sosial terletak dalam sistem nilai. Komponen ini begitu umum sehingga tidak punya spesifikasi norma, organisasi, atau fasilitas tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Nilai itu, misalnya, demokrasi, yang secara umum menjadi ideologi gerakan mahasiswa 1998. Meskipun ada elemen-elemen yang sama dalam definisi demokrasi di berbagai negara seperti sistem representasi, kekuasaan mayoritas, dan sebagainya, nilai ini tidak memberikan pengaturan institusional yang persis.
Norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai. Norma bisa bersifat formal, seperti ditemukan dalam peraturan hukum, bisa juga informal. Namun nilai dan norma saja belum menentukan bentuk organisasi tindakan manusia, seperti: siapa yang menjadi pelaksana upaya pencapaian tujuan ini, bagaimana tindakan-tindakan para pelaksana ini distrukturkan dalam peran dan organisasi, semacam: gerakan mahasiswa, pers mahasiswa, dan sebagainya. Mobilisasi motivasi ke dalam tindakan terorganisasi adalah komponen ketiga untuk mewujudkan tujuan nilai dan norma tadi
Komponen terakhir adalah fasilitas situasional. Ini bisa berupa sarana yang mendukung, bisa juga hambatan yang mempersulit pencapaian tujuan konkret dalam konteks peran dan organisasi. Komponen terakhir ini mengacu ke pengetahuan seorang aktor tentang peluang dan keterbatasan lingkungan, dan dalam sejumlah kasus, tentang pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri dalam mempengaruhi lingkungan. Pengetahuan ini bersifat relatif, bagi kemungkinan pencapaian tujuan yang menjadi bagian dari keanggotaannya pada suatu peran atau organisasi.
Berbagai teori sebelumnya telah menunjukkan adanya kondisi-kondisi sosial, yang mengarah ke munculnya gerakan sosial. Namun ini barulah tahapan paling dini yang dilalui suatu gerakan sosial dalam periode waktu tertentu. Menurut Farley [1992], gerakan sosial kemudian melalui tahap organisasi, disusul birokratisasi atau institusionalisasi, dan akhirnya gerakan sosial cepat atau lambat akan mencapai periode surut (decline).
1. Tahap Organisasi. Selama tahap organisasi, penekanan suatu gerakan sosial adalah pada mobilisasi orang, merekrut peserta baru, dan mencari perhatian media massa. Pada tahap ini, aksi demonstrasi, mendatangi DPR, boikot, dan sebagainya merupakan hal umum. Seringkali juga dilakukan upaya membangun koalisi dengan kelompok-kelompok lain terkait atau yang memiliki tujuan serupa. Membangun organisasi yang layak sangat krusial pada tahapan ini.
2. Tahap Institusionalisasi. Ketika mencapai tahap ini, gerakan sosial telah melewati batas, dari posisinya sebagai “sesuatu yang di luar kelaziman” menjadi bagian yang diterima oleh pola politik, religius, atau budaya masyarakat. Kantor dan struktur birokratik diciptakan untuk menuntaskan tugas-tugas gerakan. Jika tujuan-tujuan gerakan secara meluas diterima dalam masyarakat, gerakan itu menjadi bagian yang biasa dari struktur sosial masyarakat. Risiko bagi setiap gerakan yang telah mencapai tahap ini adalah ia akan menjadi bagian dari struktur sosial yang pada awalnya ia tentang dan mengambil beberapa karakteristik dari struktur tersebut.
3. Tahap Surut. Pada akhirnya, sebuah gerakan mungkin mengalami kemerosotan. Ini bisa terjadi karena berbagai alasan: hilangnya seorang pemimpin kharismatis, pertentangan internal, merosotnya dukungan, atau mungkin karena gerakan itu sudah mencapai sasaran dan tujuan, dan tidak berhasil mengembangkan tujuan-tujuan baru. Meskipun kemerosotan di sini disebutkan paling akhir, kemerosotan ini bisa terjadi di titik manapun dalam perkembangan sebuah gerakan sosial. Kecuali jika tahap ini bisa diatasi, tahap surut ini biasanya menandai berakhirnya sebuah gerakan sosial. Dalam sejumlah kasus, tahap surut ini bisa berbalik jadi kebangkitan lagi, ketika kondisi-kondisi sosial menjadi kondusif bagi babakan baru aktivitas gerakan.
Horton dan Hunt [1993] merumuskan tahapan gerakan sosial sebagai berikut:
(1) Tahap ketidaktenteraman, karena ketidakpastian dan ketidakpuasan semakin meningkat;
(2) Tahap perangsangan, yakni ketika perasan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebab-penyebabnya sudah diidentifikasi, dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan;
(3) Tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan;
(4) Tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideologi serta program telah diwujudkan. Tahap ini seringkali merupakan akhir kegiatan aktif dari gerakan sosial;
(5) Tahap pembubaran (disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran.
Dalam kasus gerakan mahasiswa 1998, tahapan organisasi, institusionalisasi, dan surut ini sudah dilalui. Tahapan surut mulai terlihat sesudah Soeharto berhenti. Namun gerakan mahasiswa Indonesia tidak pernah benar-benar berhenti, seperti kebangkitan dan aksi perlawanan mahasiswa yang telah terjadi di bawah pemerintahan BJ Habibie, dan aksi-aksi sporadis di bawah pemerintahan KH Abdurrahman Wahid. Walaupun aksi-aksi mahasiswa itu tidak pernah mencapai puncak seperti periode Mei 1998.
http://riyanpgri.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar